Sebuah kantor tak terlalu besar di daerah Kemang, Jakarta Selatan, dipenuhi anak-anak muda belia usia 20-30 tahun. Kantor dua lantai dengan lahan parkir yang hanya cukup untuk empat mobil ukuran sedang ini terletak di pinggir jalan. Anak-anak muda itu tampak serius menatap laptopnya masing-masing. Sebagian lalu-lalang sambil membawa barang untuk difoto.
"Ini untuk contoh produk, Mas," begitu salah satu di antara mereka menjelaskan aktivitasnya.
Di lantai dua, beberapa ruangan tersekat dengan kaca transparan diisi anak-anak muda lainnya. Sama halnya di lantai satu, aktivitas mereka tampak jelas terlihat tengah menatap serius laptopnya masing-masing. Tepat di atas tangga, ada sebuah ruangan khusus yang diisi empat orang. Segala aktivitas mereka juga sangat jelas terlihat dari luar. Ruangan kantor bak akuarium transparan inilah ruangan yang digunakan Nadiem Makarim bersama-sama tim board of director PT Gojek Indonesia.
Nadiem adalah sosok di balik revolusi industri transportasi khas Indonesia, ojek. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mobile, Nadiem sukses membangun Gojek, sebuah layanan jasa ojek berbasis aplikasi Android menjadi sebuah perusahaan layanan transportasi alternatif yang digemari masyarakat. Dengan beragam fitur yang ditawarkan Gojek, seperti antar bepergian, pengiriman barang, pesan antar makanan, berbelanja, dan layanan lainnya, Gojek adalah jawaban atas masalah kemacetan dan kebutuhan kecepatan penduduk kota-kota besar.
Di mata Nadiem, ada tiga masalah besar yang tersaji di kota-kota besar. Kemacetan, kurangnya lahan pekerjaan di sektor informal, dan ketidakefisienan pasar di sektor transportasi, khususnya ojek. Mengapa ojek? Alasannya sederhana. Bagi pria kelahiran Singapura, 4 Juli 1984, ini, ojek adalah alat transportasi sehari-hari yang dia gunakan untuk menopang mobilitasnya.
Kendati sudah berganti-ganti pekerjaan sejak 2006, ojek adalah alat transportasi yang terus melekat ke mana pun kakinya melangkah. "Naik ojek itu enak, bisa cepat sampai dan terhindar macet," katanya.
Pernah menyandang jabatan tinggi di perusahaan bergengsi, sebut saja konsultan manajemen di perusahaan konsultan ternama di Jakarta, Mckinsey & Company, managing director Zalora Indonesia (saat mengelola Rocket Internet Indonesia), dan chief innovation officer Kartuku, tak membuat Nadiem memilih tampil gaya bepergian dengan sedan mewah. Daripada nyaman berada di kabin sedan mahal ber-AC, Nadiem memilih berojek ria saat mondar-mandir di Jakarta.
Kendati bisa diandalkan soal kecepatan, ojek bukan berarti tanpa masalah. Masalah utama yang sering dijumpai Nadiem adalah ketersediaannya yang tidak semudah moda transportasi umum lainnya. Padahal, setiap orang, termasuk Nadiem, menginginkan layanan ojek bisa on demand alias ada saat dibutuhkan. "Ke mana-mana saya naik ojek, tapi repotnya setiap kali butuh belum tentu ada. Sekalinya ada, itu ditembak (tarifnya) tinggi banget," kenang pria yang janggutnya tampak baru saja dipotong.
Berbekal banyak pengalamannya menggunakan ojek itulah Nadiem kemudian memberanikan diri untuk berhenti dari pekerjaannya dan mendirikan perusahaan Gojek pada 2011. Alasan tidak betah bekerja di perusahaan orang lain menjadi peletup awalnya. Apalagi, Nadiem juga bertekad mengontrol takdirnya sendiri.
Ide bisnis transportasi Gojek bertambah kuat saat ia berbincang dengan para tukang ojek. "Saya pernah mewawancarai beberapa tukang ojek secara random, kebanyakan mengeluh susah cari pelanggan," kata Nadiem.
Dari para tukang ojek itulah Nadiem menyadari, ternyata waktu pengemudi ojek lebih banyak dihabiskan untuk sekadar mangkal. Padahal, sebenarnya pengemudi ojek mampu mendapat penghasilan lebih asalkan mampu memperoleh penumpang. Namun, ketika penumpang butuh ojek, angkutan motor itu tak selalu hadir di lokasi. Usaha menjembatani antara kebutuhan penumpang dan pengemudi ojek inilah yang menjadi awal konsep berdirinya Gojek.
Awal berdiri, Gojek hanyalah sebuah call center. Gojek hanya dikerjakan oleh tim manajemen dengan jumlah orang terbatas. "Sampai 2014, Gojek cuma manajemen kecil semacam call center, belum aplikasi, belum online," ucapnya.
Gojek pun mulai melayani konsumen via telepon. Konsumen memesan layanan ojek melalui call center, kemudian operator akan mencari driver yang terdekat. Selanjutnya, call center akan memastikan kedatangan driver dengan sistem navigasi dan koordinasi pelanggan.
Dengan sistem ini, ada beberapa tukang ojek yang mendapat penghasilan tambahan melalui call center Gojek. Namun, selama tiga tahun menjalankan usaha dengan model layanan call center, Gojek justru banyak dimanfaatkan perusahaan-perusahaan untuk melakukan jasa kurir alias antar-mengantar surat, dokumen, atau barang. "Padahal, awalnya saya ingin (Gojek) untuk transportasi bepergian orang-orang," ujarnya.
Barulah pada 2014 Nadiem mengelola bisnis Gojek secara penuh. Layanan Gojek yang awalnya offline beralih masuk di kancah online (daring) dengan aplikasi khusus. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mobile inilah Gojek berhasil merevolusi industri transportasi ojek.
Saat ini, aplikasi Gojek sudah diunduh lebih dari 13 juta orang di berbagai daerah. Fitur yang ditawarkan Gojek pun berbagai macam, mulai dari pengiriman barang, pesan antar makanan, berbelanja, hingga berpergian. Gojek pun telah membawa perubahan di kancah transportasi. Kini, tak kurang dari 210 ribu orang pengemudi atau biasa dipanggil driver Gojek telah meroda di jalanan. Tercatat, Gojek telah beroperasi di Jabodetabek, Bali, Surabaya, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Medan, Makassar, Palembang, dan Balikpapan. Nadiem pun tak lagi hanya ditemani tim manajemen kecil. Sebab, secara total pegawainya telah mencapai sekitar seribu orang.
Semakin hari, layanan Gojek pun semakin berkembang mengikuti demand konsumen yang terus meningkat. Saat masih mengedepankan layanan jasa antar pada jam sibuk dan hari kerja, rata-rata order Gojek per pengemudinya hanya mendapat tiga sampai empat kali pesanan. Setelah Gojek mengembangkan layanannya dan beroperasi setiap hari 24 jam, termasuk hari libur, rata-rata pesanan Gojek meningkat mencapai empat sampai delapan pesanan per pengemudi per hari.
"Ini kan menarik. Ojek bisa makin banyak dapat pesanan, tapi harganya pun murah. Semua senang," ujar Nadiem.
Nadiem tak bisa memperkirakan jumlah penghasilan yang diterima setiap pengemudi Gojek yang terdaftar di perusahaannya. Hal yang jelas, semakin driver Gojek rajin menerima pesanan, maka semakin bertambah pundi-pundi yang dihasilkan setiap bulannya. Kalau sebelumnya ojek pangkalan rata-rata hanya mendapat penghasilan di angka ratusan ribu, Nadime yakin rata-rata penghasilan Gojek tak kurang dari Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per bulan.
"Tapi, ya, itu tadi, semua tergantung driver-nya. Kalau mereka rajin ambil pesanan, pendapatannya bisa jauh di atas itu," katanya.
Selain menciptakan cara layanan ojek model baru, aplikasi Gojek juga banyak diikuti para perintis usaha baru (startup). Setidaknya, ada enam aplikasi serupa yang membuat layanan jasa ojek serupa Gojek. Perbedaannya hanya tarif awal dan per kilometer berikutnya. Bagi Nadiem, para pengusaha muda kreatif pembuat aplikasi serupa Gojek bukanlah kompetitor yang harus dikalahkan atau ditaklukkan.
"Hal ini justru bikin hati saya senang. Semakin kita dikopi/, apalagi itu dengan karya anak bangsa, dampaknya membuat masalah kompetisi kita yang semua dari luar negeri, bisa ditekan. Justru yang saya ingin lihat sebenarnya lebih banyak pemain lokal, maju. Ya, enggak apa-apa menggunakan, mencontek Gojek. Itu enggak apa-apa," katanya.
Comments
Post a Comment